kalimosodo
Kamis, 10 September 2015
Jumat, 21 Agustus 2015
Masa tua merupakan masa penentu kebahagiaan seseorang. Jika dia
dalam masa tuanya sudah tidak lagi memikul berbagai beban dan problematika
hidup, maka sungguh itu merupakan masa tua yang membahagiakan. Karena masa tua
merupakan masa di mana seseorang sudah mulai mengurangi berbagai aktivitas
hidup disebabkan menurunnya produktivitas dan kemampuan. Masa tua merupakan
masa bagi seseorang menuai hasil kerja payahnya di masa muda. Jika seseorang
sudah renta namun harus menanggung berbagai persoalan hidup, maka sungguh itu
merupakan masa tua yang tidak membahagiakan. Di dalam kondisi yang sudah tidak
mampu banyak berbuat, dia justru dituntut harus banyak berbuat. Dalam kondisi
produktivitas menurun ia justru dituntut untuk berproduksi tinggi.
Adakah orang yang menginginkan masa tuanya sengsara? Adakah
seseorang yang saat dia muda, punya banyak perusahaan dan kekayaan, lalu
menginginkan agar nanti tatkala tua seluruh perusahaannya hancur tanpa dapat
menikmatinya? Dan saat dia tidak mampu lagi untuk membangun perusahaannya itu?
Pada saat bersamaan keturunannya belum bisa mandiri dan masih bergantung
kepadanya? Lalu apakah yang dapat dia perbuat dengan tubuhnya yang sudah renta
itu, dengan kemampuannya yang sudah mulai sirna itu? Sebuah gambaran yang
seorang paling bodoh sekali pun tidak menginginkannya!
Itulah gambaran akhirat! Akhirat adalah puncak segala-galanya,
penentu kebahagiaan dan kesengasaraan seseorang. Ibarat masa tua, akhirat
adalah masa menuai, sedangkan kehidupan dunia adalah ibarat masa muda, masa bagi
seseorang yang masih mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat. Justru di
akhirat itulah manusia sangat membutuhkan terhadap hasil jerih payahnya tatkala
di dunia, bukan di dunia sebagai hasil akhirnya. Maka merupakan kewajiban
setiap muslim untuk senantiasa berorientasi terhadap kehidupan akhirat,
sebagaimana manusia pada umumnya sangat berorientasi terhadap masa tuanya.
Berbagai persiapan mereka lakukan, mengalokasikan dana pensiun masa tua,
menginvestasikan harta untuk ini dan itu, membangun perusahaan dan bisnis,
membeli lahan yang luas, dan masih banyak lagi yang mereka lakukan agar bisa
hidup tenang di masa tua kelak.
Jika
demikian khawatirnya manusia terhadap bayangan kebangkrutan masa tua di dunia,
maka selayakanya mereka lebih khawatir lagi dengan “masa tua akhirat”. Dan
itulah yang terjadi pada kaum salaf, para shahabat, tabi’in, para imam dan
orang-orang shalih yang menempuh jalan mereka. Jika mereka ditaqdirkan oleh
Allah subhanahu
wata’ala dengan rizki
yang lapang (kaya), maka mereka sangat khawatir jika harta itu kelak akan
mengurangi “jatah” mereka di akhirat. Sehingga mereka buru-buru menginfaqkan
harta tersebut untuk sabilillah dan jalan-jalan kebaikan. Kesadaran mereka
terhadap kebutuhan di akhirat sudah sedemikian besar, sehingga seluruh
kemampuan mereka di dunia mereka gunakan untuk berbekal menyongsong kehidupan
akhirat. Mereka telah menjual diri dan dunia mereka kepada Allah subhanahu wata’ala demi “masa tua” di akhirat, masa
ketika mereka sudah tidak mampu lagi untuk beramal dan berbuat, masa ketika
mereka menikmati usaha dan jerih payah di dunia. Mereka sangat khawatir jika di
masa-masa ini, justru terjerumus dalam kebangkrutan dan kerugian yang besar.
Alangkah
indahnya perumpamaan di dalam al-Qur’an tentang hal ini, sebagaimana
firman-Nya, artinya,“Apakah ada salah seorang di antaramu yang
ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa
tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka
kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. al-Baqarah:266)
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Telah berkata Umar
bin al Khaththabradhiyallahu ‘anhu, “Aku membaca
sebuah ayat di suatu malam yang membuatku terus begadang, yaitu (artinya), “Apakah ada salah seorang di
antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur…dst”(QS.al-Baqrah:266).
Apakah yang dimaksud oleh ayat itu?
Maka
sebagian orang yang hadir berkata, “Allahu a’lam (Allah subhanahu wata’ala yang lebih Tahu).” Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh aku tahu bahwa Allah
itu Maha Tahu, namun aku bertanya jika salah seorang dari kalian mempunyai
pengetahuan atau pernah mendengar tentang penjelasan ayat ini hendaknya
memberitahukan apa yang telah dia dengar.” Maka orang-orang diam membisu, lalu
dia melihatku sedang berbisik lirih. Kemudian berkata, “Katakan wahai anak
saudaraku, janganlah engkau rendah diri (minder)”. Maka aku berkata, “Yang
dimaksudkan ayat itu adalah amal.” Dia menghadap kami dan menjelaskan ayat itu
dengan mengatakan, ” Engkau benar wahai putra saudaraku, maksud ayat itu adalah
amal. Bahwa manusia paling butuh terhadap perkebunannya adalah ketika dia sudah
lanjut usia dan banyak anak cucunya, dan keadaan manusia yang paling butuh
terhadap amalnya adalah ketika di hari Kiamat. Engkau benar wahai putra
saudaraku.” (Dikeluarkan oleh ‘Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, Ibnul Mubarak,
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, al-Hakim dengan meringkas, dan dia menshahihkannya,
dan kisah ini dikuatkan dengan riwayat imam al-Bukhari).
Ayat ini menerangkan, bahwa akhirat bagi seorang mukmin adalah
segala-galanya. Sebagaimana dalam kehidupan dunia, masa tua adalah masa penentu
kebahagiaan seseorang.
Dalam
tafsir Ibnu Katsir disebut kan bahwa menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ayat ini menjelaskan tentang
perumpamaan seseorang yang tadinya kaya dan banyak melakukan amal kebaikan,
lalu Allahsubhanahu wata’ala mengujinya
dengan melalui godaan syetan sehingga ia berbalik melakukan kemaksiatan, dan
akhirnya amal-amal kebaikan tersebut lenyap tenggelam.
Jadi
jelasnya ayat ini merupakan permisalan tentang amal seseorang yang tadinya dia
senatiasa melakukan kebaikan-kebaikan, lalu di tengah perjalaan hidupnya dia
berubah haluan menjadi melakukan keburukan-keburukan. Kita berlindung kepada
Allah subhanahu
wata’ala dari hal itu.
Akhirnya amalnya yang terkahir mengalahkan amalnya yang terdahulu yang baik.
Kemudian ketika ia sangat butuh terhadap amalnya yang pertama, tatkala dalam
kondisi sulit dan sempit (di akhirat) ternyata dia tidak memperolah pahala amal
itu sedikit pun karena telah sirna.
Oleh
karena itu dikatakan, “Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu
terbakarlah. Yakni
membakar buahnya dan menghangus kan pohon-pohonnya, dapat kita bayangkan
bagaimana keadaannya!
Ibnu Abi
Hatim telah meriwayatkan dari jalur al-Aufi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Allahsubhanahu wata’ala telah
membuat perumpamaan yang sangat bagus, dan seluruh perumpamaan dari Allah
adalah bagus. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Apakah ada salah seorang di
antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian
datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih
kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu
terbakarlah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya
kamu memikirkannya.”(QS. al-Baqarah:266)
Beliau
berkata dalam permisalan firman Allah subhanahu wata’ala, “Kemudian datanglah masa tua pada orang itu, sedang dia mempunyai keturunan yang
masih kecil-kecil di penghujung umurnya. Maka kebun itu ditimpa oleh angin
keras yang mengandung api sehingga membakarnya, sedangkan dia sudah tidak punya
kekuatan lagi untuk mengembalikan kebun itu seperti sedia kala. Pada saat yang
sama keturunan nya masih belum bisa diandalkan untuk memperbaiki kondisi kebun
itu agar lebih baik. Demikan juga dengan orang-orang kafir pada hari Kiamat,
ketika mereka kembali ke hadapan Allah subhanahu wata’ala mereka
tidak mempunyai kebaikan yang dapat diandalkan. Sebagaimana si empunya kebun
itu sudah tidak mempunyai kekuatan dan apa-apa lagi untuk mengembalikan
kebunnya seperti sebelumnya. Orang kafir itu tidak punya amal kebaikan yang
dapat memberikan manfaat kepada dirinya, sebagaimana si pemilik kebun tidak
bisa mendapat manfaat apa-apa dari anaknya yang masih lemah. Si kafir ini
terhalang dari pahala pada saat ia sangat membutuh kannya sebagaimana si
pemilik kebun ini tidak bisa menikmati hasil kebun di kala dia sangat butuh
terhadapnya, yakni di masa ia sudah renta, dan anak cucunya pun tak mampu
berbuat apa-apa.
Maka apakah anda ingin nanti di
akhirat, tatkala anda butuh terhadap semua pahala kebaikan, namun pahala-pahala
tersebut ternyata sirna?? Tentu tidak! Oleh karena itu hendaknya kita semua
waspada dari perkara-
Katsir perkara yang dapat merusak dan membatalkan amal
kebaikan. (Abu Ahmad)
Sumber: – Kitab Tadabbur al-Qur’an -Tafsir Ibnu jilid 425I hal 424-
Sumber: – Kitab Tadabbur al-Qur’an -Tafsir Ibnu jilid 425I hal 424-
Langganan:
Postingan (Atom)